Judul Buku: Panduan Memandikan dan Menguburkan Jenazah
Penulis: Abdul Waid
Penerbit : Diva Press Jogjakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2012
Tebal : 212 halaman
ISBN : 978-602-7723-07-8
Peresensi: Oleh Suhairi Rachmad*
Tidak semua orang bisa merawat jenazah dengan benar. Kemampuan seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Apalagi, kegiatan merawat jenazah tidak dilakukan setiap hari sebagaimana kita melaksanakan solat fardu lima kali sehari. Kenyataan seperti inilah yang memunculkan image bahwa merawat jenazah itu sulit.
Seseorang yang tidak bersentuhan langsung dengan proses merawat jenazah pasti akan kewalahan jika diberi tugas melakukan hal itu. Apalagi, ia tidak pernah belajar dari kitab-kitab cara melakukannya. Bagi Anda yang ingin memperluas wawasan bagaimana cara merawat jenazah, buku Panduan Memandikan dan Menguburkan Jenazah karya Abdul Waid patut dijadian pedoman. Selain bahasanya lugas, buku ini mudah dipahami oleh kalangan awam sekalipun.
Setiap manusia akan berhadapan dengan maut. Ketika ajal menjemput, kewajiban pertama yang harus dilakukan kaum muslimin adalah mengurusnya. Hingga saat ini, masih ada di antara kaum muslimin yang belum bisa memandikan jenazah dengan benar.
Abdul Waid dalam buku ini menuturkan definisi memandikan jenazah. Menurutnya, memandikan jenazah adalah membersihkan seluruh tubuh jenazah dari segala kotoran yang berupa najis maupun hadas agar ketika jenazah tersebut menghadap atau bertemu dengan Allah SWT. dalam keadaan bersih dan suci. Sebagian besar ulama salaf berpendapat bahwa memandikan jenazah hukumya fardu kifayah atas kaum muslim lain yang masih hidup (hal. 73-74).
Orang yang mampu memandikan jenazah dengan benar tergolong langka. Biasanya, tugas ini hanya dibebankan kepada kiai, tokoh masyarakat, atau santri. Sedangkan masyarakat awam jarang menguasai kegiatan ini. Ironisnya, ketika unsur-unsur penting dalam masyarakat itu berhalangan hadir, maka yang akan mengisi tugas merawat jenazah akan terhambat.
Ternyata, tidak semua jenazah harus dimandikan ketika ajal tiba. Buku ini juga menjelaskan beberapa kelompok orang yang tidak wajib dimandikan, seperti orang yang mati syahid karena perang di jalan Allah, orang yang mati saat ihram, dan bayi yang baru lahir dan belum mengeluarkan suara.
Proses selanjutnya setelah jenazah dimandikan adalah mengafani jenazah atau membungkus jenazah. Maksud dari membungkus jenazah adalah menggunakan kain kafan yang diperoleh dari harta peninggalan atau warisan jenazah (jika ada). Apabila si jenazah tidak meninggalkan harta sama sekali, maka keluarga dekat jenazah yang berkewajiban menyediakan kain kafan beserta keperluan-keperluan lainnya (hal. 93).
Kita tentu bukan saja melihat secara langsung jenazah yang meninggal dunia secara wajar. Sejumlah stasiun televisi seringkali menayangkan adanya korban kecelakaan atau korban penembakan. Bahkan, terdapat jenazah yang sekujur tubuhnya hancur karena terbentur dengan benda keras atau karena ledakan bom bunuh diri. Buku ini membahas secara rinci cara merawat jenazah yang hancur lebur. Tentu saja hal ini dikaitkan dengan latar belakang penyebab kondisi jenazah menjadi hancur.
Sebagai persembahan terakhir, jenazah masih diwajibkan untuk disholati. Sebagaimana memandikan dan mengafani, kegiatan sholat terhadap jenazah juga fardu kifayah. Shalat jenazah bisa dilaksanakan di dalam mesjid maupun di luar mesjid. Imam berdiri di posisi kepala mayat laki-laki, dan di posisi pertengahan jika mayatnya perempuan (hal. 129-131).
Ketentuan ini tentu hanya adab dan etika melaksanakan sholat jenazah. Dalam artian, jika hal ini diabaikan, maka sholat jenazah tetap sah asalkan syarat dan rukunnya terpenuhi. Namun menjadi lebih afdol, jika adab dan etika tersebut juga diperhatikan oleh orang yang ikut melaksanakan sholat untuk si jenazah.
Kewajiban umat Islam yang terakhir ketika merawat jenazah adalah menguburkannya. Menguburkan jenazah termasuk ibadah yang disyariatkan dalam Islam; baik jenazah muslim maupun jenazah non muslim. Bahkan, Rosulullah tetap memerintahkan Sayyidina Ali untuk mengubur paman nabi bernama Abu Thalib, walaupun Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan tidak masuk Islam (hal 175).
Buku ini juga membahas tata cara menggali kubur, bentuk dan ukuran kuburan, tata cara memikul jenazah, tata cara memasukkan jenazah ke liang kubur, posisi jenazah dan doa meletakkan jenazah, hingga tata cara menguburkan jenazah di laut. Buku setebal 212 halaman ini sangat lengkap dan sangat cocok untuk dibaca oleh siapa saja yang ingin mengetahui tata cara merawat jenazah dengan baik dan benar.
*Suhairi Rachmad, alumnus Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan dan pecinta buku, kini tinggal di Ganding Sumenep Madura
Penulis: Abdul Waid
Penerbit : Diva Press Jogjakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2012
Tebal : 212 halaman
ISBN : 978-602-7723-07-8
Peresensi: Oleh Suhairi Rachmad*
Tidak semua orang bisa merawat jenazah dengan benar. Kemampuan seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Apalagi, kegiatan merawat jenazah tidak dilakukan setiap hari sebagaimana kita melaksanakan solat fardu lima kali sehari. Kenyataan seperti inilah yang memunculkan image bahwa merawat jenazah itu sulit.
Seseorang yang tidak bersentuhan langsung dengan proses merawat jenazah pasti akan kewalahan jika diberi tugas melakukan hal itu. Apalagi, ia tidak pernah belajar dari kitab-kitab cara melakukannya. Bagi Anda yang ingin memperluas wawasan bagaimana cara merawat jenazah, buku Panduan Memandikan dan Menguburkan Jenazah karya Abdul Waid patut dijadian pedoman. Selain bahasanya lugas, buku ini mudah dipahami oleh kalangan awam sekalipun.
Setiap manusia akan berhadapan dengan maut. Ketika ajal menjemput, kewajiban pertama yang harus dilakukan kaum muslimin adalah mengurusnya. Hingga saat ini, masih ada di antara kaum muslimin yang belum bisa memandikan jenazah dengan benar.
Abdul Waid dalam buku ini menuturkan definisi memandikan jenazah. Menurutnya, memandikan jenazah adalah membersihkan seluruh tubuh jenazah dari segala kotoran yang berupa najis maupun hadas agar ketika jenazah tersebut menghadap atau bertemu dengan Allah SWT. dalam keadaan bersih dan suci. Sebagian besar ulama salaf berpendapat bahwa memandikan jenazah hukumya fardu kifayah atas kaum muslim lain yang masih hidup (hal. 73-74).
Orang yang mampu memandikan jenazah dengan benar tergolong langka. Biasanya, tugas ini hanya dibebankan kepada kiai, tokoh masyarakat, atau santri. Sedangkan masyarakat awam jarang menguasai kegiatan ini. Ironisnya, ketika unsur-unsur penting dalam masyarakat itu berhalangan hadir, maka yang akan mengisi tugas merawat jenazah akan terhambat.
Ternyata, tidak semua jenazah harus dimandikan ketika ajal tiba. Buku ini juga menjelaskan beberapa kelompok orang yang tidak wajib dimandikan, seperti orang yang mati syahid karena perang di jalan Allah, orang yang mati saat ihram, dan bayi yang baru lahir dan belum mengeluarkan suara.
Proses selanjutnya setelah jenazah dimandikan adalah mengafani jenazah atau membungkus jenazah. Maksud dari membungkus jenazah adalah menggunakan kain kafan yang diperoleh dari harta peninggalan atau warisan jenazah (jika ada). Apabila si jenazah tidak meninggalkan harta sama sekali, maka keluarga dekat jenazah yang berkewajiban menyediakan kain kafan beserta keperluan-keperluan lainnya (hal. 93).
Kita tentu bukan saja melihat secara langsung jenazah yang meninggal dunia secara wajar. Sejumlah stasiun televisi seringkali menayangkan adanya korban kecelakaan atau korban penembakan. Bahkan, terdapat jenazah yang sekujur tubuhnya hancur karena terbentur dengan benda keras atau karena ledakan bom bunuh diri. Buku ini membahas secara rinci cara merawat jenazah yang hancur lebur. Tentu saja hal ini dikaitkan dengan latar belakang penyebab kondisi jenazah menjadi hancur.
Sebagai persembahan terakhir, jenazah masih diwajibkan untuk disholati. Sebagaimana memandikan dan mengafani, kegiatan sholat terhadap jenazah juga fardu kifayah. Shalat jenazah bisa dilaksanakan di dalam mesjid maupun di luar mesjid. Imam berdiri di posisi kepala mayat laki-laki, dan di posisi pertengahan jika mayatnya perempuan (hal. 129-131).
Ketentuan ini tentu hanya adab dan etika melaksanakan sholat jenazah. Dalam artian, jika hal ini diabaikan, maka sholat jenazah tetap sah asalkan syarat dan rukunnya terpenuhi. Namun menjadi lebih afdol, jika adab dan etika tersebut juga diperhatikan oleh orang yang ikut melaksanakan sholat untuk si jenazah.
Kewajiban umat Islam yang terakhir ketika merawat jenazah adalah menguburkannya. Menguburkan jenazah termasuk ibadah yang disyariatkan dalam Islam; baik jenazah muslim maupun jenazah non muslim. Bahkan, Rosulullah tetap memerintahkan Sayyidina Ali untuk mengubur paman nabi bernama Abu Thalib, walaupun Abu Thalib meninggal dunia dalam keadaan tidak masuk Islam (hal 175).
Buku ini juga membahas tata cara menggali kubur, bentuk dan ukuran kuburan, tata cara memikul jenazah, tata cara memasukkan jenazah ke liang kubur, posisi jenazah dan doa meletakkan jenazah, hingga tata cara menguburkan jenazah di laut. Buku setebal 212 halaman ini sangat lengkap dan sangat cocok untuk dibaca oleh siapa saja yang ingin mengetahui tata cara merawat jenazah dengan baik dan benar.
*Suhairi Rachmad, alumnus Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan dan pecinta buku, kini tinggal di Ganding Sumenep Madura
0 komentar:
Komentar Anda Sangat Kami Harapkan
Silahkan Tulis Di Kotak Yang Telah Tersedia....Terima Kasih!!